Selasa, 06 Desember 2011

Nilai Sosial dan Pesan Moral pada Novel Serdadu Kumbang


Nilai Sosial dan Pesan Moral dalam Novel Serdadu Kumbang
Karya Rain Chudori Soerjoatmodjo melalui Pendekatan Sosiologi sastra

              Sastra menyajikan kehidupan manusia, dan kehidupan itu sebagian besar berhubungan dengan kenyataan sosial dalam masyarakat (Wellek dan Warren). Sastra merupakan gambaran dari usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal ini sosiologi erat kaitanya dengan ilmu sastra, karena keduanya sama-sama membahas tentang manusia dalam masyarakat. Hanya saja sosiologi melakukan analisis ilmiahnya secara objektif, sedangkan sastra mampu menembus kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya.
              Menurut Damono yang dimaksud dengan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Karena pengarang membuat suatu karya sastranya dengan melihat permasalahan yang ada dalam masyarakat, dalam hal ini masalah sosial, kemudian menuangkannya dalam bentuk karya sastra.    
              Nilai sosial merupakan sarana utama pembinaan manusia dalam berpikiran dewasa, bertingkah laku yang baik dan berjiwa luhur. Dikatakan demikian karena hal ini berhubungan dengan perbuatan dan tingkah laku yang pada hakikatnya merupakan pencerminan akhlak atau budi pekerti.
              Novel Serdadu Kumbang mengangkat kisah kehidupan tiga anak Sumbawa yakni Amek, Umbe, dan Acan, yang berusaha keras merintis cita-cita mereka meski dengan berbagai keterbatasan. Dalam novel ini terdapat nilai-nilai sosial dan pesan moral yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam suatu masyarakat.
a.    Nilai Sosial dalam Novel Serdadu Kumbang
            Dalam novel ini banyak terdapat nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan perbuatan dan tingkah laku para tokoh yang mencerminkan kehidupan di masyarakat. Uraian beberapa nilai sosial sebagai berikut.
Kesederhanaan, nilai kesederhanaan tercermin dalam kisah kehidupan tokoh Amek yang hidup dalam serba kekurangan. Amek, bocah yang menderita bibir sumbing hidup dalam kondisi sangat sederhana di sebuah rumah panggung di Desa Mantar bersama Inak Siti dan kakannya Minun. Amek bersama ibu dan kakanya hidup dari berjualan kecil-kecilan di bawah kolong rumah panggung sederhana tempat mereka tinggal, sejak mereka ditinggal ayahnya Zakaria yang mengadu nasib sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Amek yang menderita bibir sumbing itu bercita-cita menjadi presenter berita televisi nasional suatu saat nanti. Awalnya ia sama sekali tak percaya diri karena kekurangannya itu. Apalagi ia sempat tidak lulus Ujian Nasional (UN) tahun lalu. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, seseorang harus tetap yakin bisa menggapai cita-citanya. (Data 1)
Perjuangan, kisah perjuangan Amek, Minun, dan sahabat-sahabatnya yang lain dalam meraih cita-cita tidak semulus yang dibayangkan. Beberapa kali tidak lulus Ujian Nasional, namun tidak sampai membuat mereka putus asa. Mereka bahkan menempuh cara yang tidak wajar agar bisa lulus ujian. Amek dan teman-temannya menggantungkan secarik kertas bertuliskan cita-cita mereka kemudian dimasukkan ke dalam botol dan digantungkan di dahan pohon yang oleh masyarakat setempat dinamakan "Pohon Cita-cita". Namun, dari semua kekurangan itu, Amek memiliki kelebihan yakni mahir dalam mengendalikan kuda, sehingga ia selalu menang dalam lomba pacuan kuda yang sering dilaksanakan di kampungnya di Desa Mantar. Kehidupan Amek dan sahabatnya yang lain sesungguhnya begitu dekat dengan kehidupan masyarakat, maka pelajaran terbaik yang dapat dipetik adalah setiap orang sejatinya memang dilahirkan sebagai pejuang dalam hidupnya tidak peduli di mana pun dan bagaimana dia melakukannya. Yang terpenting adalah menjawab panggilan seorang juara tanpa perlu takut kalah atau sakit karena terjatuh. (Data 2)
Giat belajar, nilai giat belajar tercermin pada tokoh Minun yang sering menjuarai lomba matematika se-Kabupaten. Sederet piala dan sertifikat berjejer diruang tamu mereka. Minun adalah ikon sekolah, kebanggaan keluarga dan masyarakat di Desa Mantar. Minun lebih sering mengabdikan dirinya kepada buku-buku karena itu ia selalu menjadi juara kelas. Apabila seseorang mau berusaha dan giat belajar maka ia akan dapat menjadi juara sebagai kebanggaan keluarga dan masyarakat. (Data 3)
Meraih cita-cita, dalam mewujudkan cita-cita Amek juga rajin menonton berita di tv, hal ini yang menjelaskan cita-cita dari Amek yang ternyata ingin menjadi penyiar berita. Akan tetapi, awalnya ia sama sekali tak percaya diri karena kekurangannya itu. Apalagi ia sempat tidak lulus Ujian Nasional (UN) tahun lalu. Hal tersebut yang membuatnya semakin tidak yakin bisa menggapai cita-citanya. Namun, Amek berusaha menirukan para pembaca berita televisi di sebuah gubuk tua dengan penuh ekspresi serius, nada naik turun dan tak pernah peduli dengan keringat yang membasahi dahinya, dan ia melupakan sumbing bibirnya yang dianggap sebagai penghalang cita-citanya. Dalam meraih cita-cita seseorang harus bisa menutupi kekurangannya dan terus berusaha menggali potensi yang dimiliki untuk menggapai cita-cita tersebut. (Data 4)
Penegakan disiplin belajar, novel ini juga berfokus pada pendidikan yang didapatkan Amek di sekolahnya. Secara akademis, Amek bukanlah sesosok yang cemerlang. Tahun sebelumnya, Amek sempat dinyatakan tidak lulus ketika mengikuti Ujian Nasional. Hal ini yang membuat ibu, kakak dan guru Imbok, terus menerus memompa semangat belajar Amek. Di sekolah Amek sendiri, para jajaran guru telah bertekad untuk tahun ini dapat meluluskan seluruh siswanya. Hal ini dilakukan dengan cara penegakan disiplin belajar dan tingkah laku di kehidupan sehari-hari mereka. Suatu hal yang kadang justru menjadi sebuah momok tersendiri bagi para siswa di sekolah tersebut untuk dapat belajar dengan tenang. Namun, dalam penegakan kedisiplinan tersebut menampilkan berbagai bentuk ketidakadilan yang selama ini sering didapati oleh para murid-murid sekolah di dalam ruang kelas mereka, mulai dari berbagai bentuk tindak kekerasan yang dilakukan atas dasar penegakan disiplin dan tingkah laku oleh guru-guru mereka hingga tindak ketidakadilan yang saat ini mungkin dianggap sebagai momok terbesar bagi para murid-murid mengenai Ujian Nasional. (Data 5)
Kebijaksana, nilai kebijaksanaan tercermin pada tokoh Haji Mesa ketika kebiasaan Guru Alim yang sering menghukum muridnya yang salah itu mendapat protes keras dari Haji Maesa yang memerankan tokoh guru agama dalam membimbing dan mengajar anak-anak di Desa Mantar tentang pengetahuan agama dan ahlak. Selain itu, Haji Maesa dengan bijaksana meredakan warga yang ingin menebang pohon cita-cita. (Data 6)
Dedikasi dan idealis, tokoh guru Imbok mempunyai dedikasi dalam pendidikan yang sangat tinggi. Banyak siswa yang senang diajarnya karena guru Imbok mengajar dengan hati dan selalu mengingatkan mereka betapa pentingnya pendidikan untuk masa depan. Selain itu guru Imbok juga mengajarkan pendidikan pada masyarakat buta aksara di sekolah darurat. Tokoh guru Imbok juga memiliki sikap idealis yang ditunjukkan ketika ia menentang menggunakan kekerasan untuk mendidik siswa yang dilakukan oleh Pak Alim. Seorang guru sewajarnya memiliki dedikasi dan idealis yang baik karena mengingat pentingnya peranan guru dalam mengajar siswa sebagai bekal pendidikan  di masa depan. (Data 7)
b.    Pesan Moral dalam Novel Serdadu Kumbang
Pesan moral yang ingin disampaikan dalam novel Serdadu Kumbang mengenai moral terhadap kehidupan anak Indonesia di daerah dan pesan moral terhadap dunia pendidikan.
            Pesan moral terhadap kehidupan anak Indonesia di daerah digambarkan Amek, Acan, dan Umbe, tiga sekawan dalam cerita Serdadu Kumbang yang merupakan cerminan yang merefleksikan kehidupan anak Indonesia di daerah dalam menghadapi realitas kehidupan serba berkekurangan ketika impian, cita-cita, dan harapan adalah pedoman hidup untuk terus melangkah maju menghadapi segala persoalan yang ada. Jauh dari sarana prasarana pemenuhan kebutuhan hidup merupakan sebuah tantangan terlebih lagi ketika didekatkan pada realitas betapa majunya dunia hari ini dengan segala kecanggihannya. Meskipun demikian, sarana prasarana bukanlah satu-satunya faktor utama untuk mencapai keberhasilan, karena sesungguhnya ketiga faktor penggerak daya hidup yaitu impian, cita-cita, dan harapan yang memiliki kekuatan lebih didalam kehidupan manusia.  
Pesan moral terhadap dunia pendidikan yang terkandung dalam novel Serdadu Kumbang ditunjukkan oleh Haji Mesa dan dan Bu Guru Imbok. Haji Mesa mengajarkan nilai-nilai moral dan agama dengan penuh kelembutan, anak-anak yang awalnya dianggap nakal sebenarnya mereka patuh dan taat. Bu Guru Imbok mengajarkan pendidikan untuk semua, baca tulis untuk masayarakat yang masih buta huruf, mengajar melalui cerita sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral yang harus dipelajari. Semuanya disampaikan dengan baik dan simpatik, walau ruang kelas hanya berada di bawah rumah panggung dengan alat tulis yang seadanya pula.
Pesan moral yang dapat diambil dari novel ini adalah jangan menyerah untuk mengejar cita-citamu, teruslah berusaha walaupun dirundung keterbatasan dan kesedihan. Pendidikan yang baik bukanlah sekadar nilai akademis akan tetapi juga nilai moral. Selain itu, kesederhanaan, perjuangan, keberanian, kesabaran, tidak mudah putus asa, yang membuat anak bertahan hidup dengan lebih baik. Selain itu, Pesan moral yang disampikan pada novel ini bahwa manusia terlahir merdeka, manusialah yang memenjarakan diri manusia dalam berbagai keharusan yang disebut sistem yang sayangnya ternyata kerap menyusahkan orang yang sama sekali tidak mengerti apa itu sistem. “… saya tidak bangga cucu saya cerdas di kepala tapi tidak di dalam hati” adalah kutipan penggalan-penggalan kalimat yang menyangkut tujuan pendidikan itu sendiri. Ternyata pendidikan sebenarnya bukan tentang selembar kertas yang dikenal dengan nama ijazah, melainkan untuk menjadikan setiap manusia itu sendiri memiliki moral yang baik.

                                                                                                     
           

             


Tabel Data dan Kutipan dalam Novel Serdadu Kumbang
Karya Rain Chudori Soerjoatmodjo

Data
Kutipan
1
“Rumah di Desa mantar di Sumbawa rata-rata rumah kayu yang mempunyai kolong yang di masa lalu biasa digunakan untuk menyimpan padi. Oleh ibu Siti, kolong itu digunakan untuk sebuah warung tempat berjualan berbagai makanan kecil dan es.” (hal. 18)
2
“Pada dahan inilah anak-anak Desa Mantar menggantungkan mimpi dan cita-citanya. Pohon cita-cita, demikianlah anak-anak menyebutnya. Mereka menuliskan cita-cita dan mimpinya diatas sehelai kertas, lalu mereka masukkan ke dalam botol.” (hal 5)
3
“Minun lebih sering mengabdikan dirinya kepada buku-buku.” (hal. 12)
“...Minun dan kawan-kawan sekelasnya di SMP Mantar tengah berkutat belajar untuk menghadapi ujian.” (hal. 47)
4
“ ...di bawah bayang-bayang dahan bersorak dan vertepuk tangan setiapkali sehelai kertas cita-cita dibacakan dengan lantang. “Imah, dosen!” seru Japar”. “Jubaidah... ingin punya Restoran Ayam Taliwang”. “Japar...  Guru Mengaji.” “Sikin, Bupati” (hal 6)
“..... Amek tak pernah peduli dengan keringat yang membasahi dahinya, dan dia juga melupakan sumbing bibirnya yang selalu dia anggap sebagai penghalang dirinya untuk meraih cita-citanya” (hal 14)
5
“Kedisiplinan dan hukuman itu, harus sejalan,” kata Kepala Sekolah Jabuk mencoba menengahi guru-gurunya yang terbelah menjadi dua pihak.” (hal 31)
6
“Mungkin keturunannya memang kurang ajar. Atau mungkin gurunya yang mengajar, mengajarkan kurangn ajar,” kata Haji Mesa dengan santai. Kalimat itu malah membuat Kepala Sekolah Jabuk semakin merunduk.” (hal 32)
“Haji Mesa memberikan petuah kepada Kepala Sekolah dan pak Openg, tentang pendidikan yang seharusnya bukan sekedar pendidikan ilmu tetapi juga akal budi. “Saya tidak bangga kalau cucu saya cerdas dikepala tapi tidak cerdas di hati.” (hal 32)
“Yang mana yang musyrik, Jek?” kata Haji Mesa mencoba menenangkanJek karena faham dengan kemarahan Jek yang salah alamat itu.” (hal 64)
7
“Tak heran jika murid-murid lebih suka diajardi bawah naungan Guru imbok yang mendidik dengan hati. ..... “Tetapi Guru Imbok tetap saja mengingatkan mereka betapa pentingnya pendidikan untuk masa depan.” (hal 7-8)
“Guru Imbok sangat terganggu dengan cara pak Alim yang, seperti biasa, menggunakan kekerasan dalam mendidik anak-anak.” (hal 30)
“hari semakin gelap, Amek dan kawan-kawan menanti Guru Imbok di sekolah darurat tempat beliau biasa mengajar.” (hal 70)
                                                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar