Selasa, 06 Desember 2011

Mekanisme Pertahanan Ego Pada Cerpen Sematku Patah di Cungking


Mekanisme Pertahanan Ego Tokoh “Aku”
Cerpen Sematku Patah di Cungking

Psikologi sastra adalah ilmu sastra yang mendekati karya sastra dari sudut psikologi (Hartoko melalui Endraswara, 2008:70). Dasar konsep dari psikologi sastra adalah munculnya jalan buntu dalam memahami sebuah karya sastra, sedangkan pemahaman dari sisi lain dianggap belum bisa mewadahi tuntutan psikis, oleh karena itu muncullah psikologi sastra, yang berfungsi sebagai jembatan dalam interpretasi. Sigmund Freud dianggap sebagai pencetus psikologi sastra, ia menciptakan teori psikoanalisis yang membuka wacana penelitian psikologi sastra. Pendekatan psikoanalisis sangat substil dalam hal menemukan berbagai hubungan antar penanda tekstual (Endraswara, 2008: 199).
Ego adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan pribadi untuk berhubungan dengan dunia nyata (Freud, melalui Suryabrata,1993:147). Seperti orang yang lapar harus berusaha mencari makanan untuk menghilangkan tegangan (rasa lapar) dalam dirinya. Hal ini berarti seseorang harus dapat membedakan antara khayalan tentang makanan dan kenyataannya. Hal inilah yang membedakan antara id dan ego. Dikatakan aspek psikologis karena dalam memainkan peranannya ini, ego melibatkan fungsi psikologis yang tinggi, yaitu fungsi konektif atau intelektual (Freud, dalam Koswara, 1991:33-34). Mekanisme pertahanan merupakan cara yang digunakan individu dalam mencegah kemunculan terbuka dari dorongan–dorongan id maupun untuk menghadapi tekanan superego atas ego, dengan tujuan agar kecemasan dari ketegangan bisa dikurangi atau diredakan.
Kisah hidup tokoh aku yang sangat cinta pada gadis masa lalunya dan berharap gadis tersebut mau menerima cinta terpendamnya. Cinta tokoh aku terlalu dalam, meski egonya menekankan bahwasanya gadisnya itu telah menjadi janda beberapa kalipun, ia tetap merindukanya. Seperti yang terdapat dalam kutipan cerpen berikut: “Tapi jujur dalam hati kecilku aku tetap merindukannya, aku berharap ia kembali, aku terima ia sejanda apa pun” (Paragraf 6). Tokoh aku begitu menginginkan si gadis kembali padanya walaupun si gadis telah menjanda, sehingga ia merasa perlu datang ke Cungking dan kembali menemukan dambaan hatinya dengan harapan ia bisa kembali menemukan pelampiasan perasaan rindu sertanya cintanya,  
Secara ego, si tokoh aku tidak mampu mengungkapkan perasaannya pada si gadis, mengingat ia tidak mempunyai keberanian untuk mendekati dan menyatakan cinta gombalnya pada si gadis karena takut tergunjing. Seperti terdapat dalam kutipan berikut: “Aku tak ingin jadi bulan-bulanan kawan sebaya yang mengumumkan hubungan saya dengan gadisku dengan menuliskannya disembarang tembok entah pakai arang atau daun jati. Tulisan itu kerap membuat hubungan remaja yang sedang memadu kasih kandas di tengah jalan lantaran malu diketahui banyak orang” (Paragraf 12). Jelas ini bertolak belakang dengan perasaan meluap tentang cintanya pada si gadis di Cungking. Rela kembali dari rantau yang jauh dan hanya berharap bisa kembali melihat gadisnya adalah suatu tekad serta rindu yang kuat dari tokoh aku yang masih saja mendambakan cinta si gadis di Cungking.
 Dalam kutipan berikut juga mencerminkan ego dari  tokoh aku yang merasa bahwa ia menyesal tidak pernah mengungkapkan cintanya, seperti tercermin dalam kutipan “Seharusnya aku yang menjadi bapak anak-anaknya, kalau saja aku mau membuang gengsiku. Penyesalan itu yang selalu mengusik hatiku. Entah berapa ratus kali aku menggumam seperti itu walaupun kini sudah ada Margareta dan Aleece, hasil kumpul keboku bersama Manuela” (Paragraf 7). Tokoh aku seringkali memiliki perasaan galau dan kerap menyalahkan diri sendiri. Namun perasaan penyesalan membuat hatinya menjadi penasaran terhadap gadisnya meskipun ia sudah memiliki dua orang anak dari hasil kumpul kebonya dengan Manuela.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ego dari tokoh aku sangat kuat dalam memendam perasaan cinta pada gadis masa lalunya sehingga cinta itu hanya bersemi dalam rasa rindu dan berharap ingin memilikinya, tetapi perasaan tersebut berat untuk diungkapkan. Karena egonya tersebut, si gadis tidak menikahi tokoh aku dan memilih menikah dengan juragan gabah, sehingga tokoh aku tidak mengetahui bahwa si gadis sebenarnya juga mencintainya. Ketika mengetahui hal tersebut, timbullah penyesalan dalam diri tokoh aku akibat dari egonya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar