Selasa, 06 Desember 2011

Nilai Sosial dan Pesan Moral pada Novel Serdadu Kumbang


Nilai Sosial dan Pesan Moral dalam Novel Serdadu Kumbang
Karya Rain Chudori Soerjoatmodjo melalui Pendekatan Sosiologi sastra

              Sastra menyajikan kehidupan manusia, dan kehidupan itu sebagian besar berhubungan dengan kenyataan sosial dalam masyarakat (Wellek dan Warren). Sastra merupakan gambaran dari usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal ini sosiologi erat kaitanya dengan ilmu sastra, karena keduanya sama-sama membahas tentang manusia dalam masyarakat. Hanya saja sosiologi melakukan analisis ilmiahnya secara objektif, sedangkan sastra mampu menembus kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya.
              Menurut Damono yang dimaksud dengan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Karena pengarang membuat suatu karya sastranya dengan melihat permasalahan yang ada dalam masyarakat, dalam hal ini masalah sosial, kemudian menuangkannya dalam bentuk karya sastra.    
              Nilai sosial merupakan sarana utama pembinaan manusia dalam berpikiran dewasa, bertingkah laku yang baik dan berjiwa luhur. Dikatakan demikian karena hal ini berhubungan dengan perbuatan dan tingkah laku yang pada hakikatnya merupakan pencerminan akhlak atau budi pekerti.
              Novel Serdadu Kumbang mengangkat kisah kehidupan tiga anak Sumbawa yakni Amek, Umbe, dan Acan, yang berusaha keras merintis cita-cita mereka meski dengan berbagai keterbatasan. Dalam novel ini terdapat nilai-nilai sosial dan pesan moral yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam suatu masyarakat.
a.    Nilai Sosial dalam Novel Serdadu Kumbang
            Dalam novel ini banyak terdapat nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan perbuatan dan tingkah laku para tokoh yang mencerminkan kehidupan di masyarakat. Uraian beberapa nilai sosial sebagai berikut.
Kesederhanaan, nilai kesederhanaan tercermin dalam kisah kehidupan tokoh Amek yang hidup dalam serba kekurangan. Amek, bocah yang menderita bibir sumbing hidup dalam kondisi sangat sederhana di sebuah rumah panggung di Desa Mantar bersama Inak Siti dan kakannya Minun. Amek bersama ibu dan kakanya hidup dari berjualan kecil-kecilan di bawah kolong rumah panggung sederhana tempat mereka tinggal, sejak mereka ditinggal ayahnya Zakaria yang mengadu nasib sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Amek yang menderita bibir sumbing itu bercita-cita menjadi presenter berita televisi nasional suatu saat nanti. Awalnya ia sama sekali tak percaya diri karena kekurangannya itu. Apalagi ia sempat tidak lulus Ujian Nasional (UN) tahun lalu. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, seseorang harus tetap yakin bisa menggapai cita-citanya. (Data 1)
Perjuangan, kisah perjuangan Amek, Minun, dan sahabat-sahabatnya yang lain dalam meraih cita-cita tidak semulus yang dibayangkan. Beberapa kali tidak lulus Ujian Nasional, namun tidak sampai membuat mereka putus asa. Mereka bahkan menempuh cara yang tidak wajar agar bisa lulus ujian. Amek dan teman-temannya menggantungkan secarik kertas bertuliskan cita-cita mereka kemudian dimasukkan ke dalam botol dan digantungkan di dahan pohon yang oleh masyarakat setempat dinamakan "Pohon Cita-cita". Namun, dari semua kekurangan itu, Amek memiliki kelebihan yakni mahir dalam mengendalikan kuda, sehingga ia selalu menang dalam lomba pacuan kuda yang sering dilaksanakan di kampungnya di Desa Mantar. Kehidupan Amek dan sahabatnya yang lain sesungguhnya begitu dekat dengan kehidupan masyarakat, maka pelajaran terbaik yang dapat dipetik adalah setiap orang sejatinya memang dilahirkan sebagai pejuang dalam hidupnya tidak peduli di mana pun dan bagaimana dia melakukannya. Yang terpenting adalah menjawab panggilan seorang juara tanpa perlu takut kalah atau sakit karena terjatuh. (Data 2)
Giat belajar, nilai giat belajar tercermin pada tokoh Minun yang sering menjuarai lomba matematika se-Kabupaten. Sederet piala dan sertifikat berjejer diruang tamu mereka. Minun adalah ikon sekolah, kebanggaan keluarga dan masyarakat di Desa Mantar. Minun lebih sering mengabdikan dirinya kepada buku-buku karena itu ia selalu menjadi juara kelas. Apabila seseorang mau berusaha dan giat belajar maka ia akan dapat menjadi juara sebagai kebanggaan keluarga dan masyarakat. (Data 3)
Meraih cita-cita, dalam mewujudkan cita-cita Amek juga rajin menonton berita di tv, hal ini yang menjelaskan cita-cita dari Amek yang ternyata ingin menjadi penyiar berita. Akan tetapi, awalnya ia sama sekali tak percaya diri karena kekurangannya itu. Apalagi ia sempat tidak lulus Ujian Nasional (UN) tahun lalu. Hal tersebut yang membuatnya semakin tidak yakin bisa menggapai cita-citanya. Namun, Amek berusaha menirukan para pembaca berita televisi di sebuah gubuk tua dengan penuh ekspresi serius, nada naik turun dan tak pernah peduli dengan keringat yang membasahi dahinya, dan ia melupakan sumbing bibirnya yang dianggap sebagai penghalang cita-citanya. Dalam meraih cita-cita seseorang harus bisa menutupi kekurangannya dan terus berusaha menggali potensi yang dimiliki untuk menggapai cita-cita tersebut. (Data 4)
Penegakan disiplin belajar, novel ini juga berfokus pada pendidikan yang didapatkan Amek di sekolahnya. Secara akademis, Amek bukanlah sesosok yang cemerlang. Tahun sebelumnya, Amek sempat dinyatakan tidak lulus ketika mengikuti Ujian Nasional. Hal ini yang membuat ibu, kakak dan guru Imbok, terus menerus memompa semangat belajar Amek. Di sekolah Amek sendiri, para jajaran guru telah bertekad untuk tahun ini dapat meluluskan seluruh siswanya. Hal ini dilakukan dengan cara penegakan disiplin belajar dan tingkah laku di kehidupan sehari-hari mereka. Suatu hal yang kadang justru menjadi sebuah momok tersendiri bagi para siswa di sekolah tersebut untuk dapat belajar dengan tenang. Namun, dalam penegakan kedisiplinan tersebut menampilkan berbagai bentuk ketidakadilan yang selama ini sering didapati oleh para murid-murid sekolah di dalam ruang kelas mereka, mulai dari berbagai bentuk tindak kekerasan yang dilakukan atas dasar penegakan disiplin dan tingkah laku oleh guru-guru mereka hingga tindak ketidakadilan yang saat ini mungkin dianggap sebagai momok terbesar bagi para murid-murid mengenai Ujian Nasional. (Data 5)
Kebijaksana, nilai kebijaksanaan tercermin pada tokoh Haji Mesa ketika kebiasaan Guru Alim yang sering menghukum muridnya yang salah itu mendapat protes keras dari Haji Maesa yang memerankan tokoh guru agama dalam membimbing dan mengajar anak-anak di Desa Mantar tentang pengetahuan agama dan ahlak. Selain itu, Haji Maesa dengan bijaksana meredakan warga yang ingin menebang pohon cita-cita. (Data 6)
Dedikasi dan idealis, tokoh guru Imbok mempunyai dedikasi dalam pendidikan yang sangat tinggi. Banyak siswa yang senang diajarnya karena guru Imbok mengajar dengan hati dan selalu mengingatkan mereka betapa pentingnya pendidikan untuk masa depan. Selain itu guru Imbok juga mengajarkan pendidikan pada masyarakat buta aksara di sekolah darurat. Tokoh guru Imbok juga memiliki sikap idealis yang ditunjukkan ketika ia menentang menggunakan kekerasan untuk mendidik siswa yang dilakukan oleh Pak Alim. Seorang guru sewajarnya memiliki dedikasi dan idealis yang baik karena mengingat pentingnya peranan guru dalam mengajar siswa sebagai bekal pendidikan  di masa depan. (Data 7)
b.    Pesan Moral dalam Novel Serdadu Kumbang
Pesan moral yang ingin disampaikan dalam novel Serdadu Kumbang mengenai moral terhadap kehidupan anak Indonesia di daerah dan pesan moral terhadap dunia pendidikan.
            Pesan moral terhadap kehidupan anak Indonesia di daerah digambarkan Amek, Acan, dan Umbe, tiga sekawan dalam cerita Serdadu Kumbang yang merupakan cerminan yang merefleksikan kehidupan anak Indonesia di daerah dalam menghadapi realitas kehidupan serba berkekurangan ketika impian, cita-cita, dan harapan adalah pedoman hidup untuk terus melangkah maju menghadapi segala persoalan yang ada. Jauh dari sarana prasarana pemenuhan kebutuhan hidup merupakan sebuah tantangan terlebih lagi ketika didekatkan pada realitas betapa majunya dunia hari ini dengan segala kecanggihannya. Meskipun demikian, sarana prasarana bukanlah satu-satunya faktor utama untuk mencapai keberhasilan, karena sesungguhnya ketiga faktor penggerak daya hidup yaitu impian, cita-cita, dan harapan yang memiliki kekuatan lebih didalam kehidupan manusia.  
Pesan moral terhadap dunia pendidikan yang terkandung dalam novel Serdadu Kumbang ditunjukkan oleh Haji Mesa dan dan Bu Guru Imbok. Haji Mesa mengajarkan nilai-nilai moral dan agama dengan penuh kelembutan, anak-anak yang awalnya dianggap nakal sebenarnya mereka patuh dan taat. Bu Guru Imbok mengajarkan pendidikan untuk semua, baca tulis untuk masayarakat yang masih buta huruf, mengajar melalui cerita sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral yang harus dipelajari. Semuanya disampaikan dengan baik dan simpatik, walau ruang kelas hanya berada di bawah rumah panggung dengan alat tulis yang seadanya pula.
Pesan moral yang dapat diambil dari novel ini adalah jangan menyerah untuk mengejar cita-citamu, teruslah berusaha walaupun dirundung keterbatasan dan kesedihan. Pendidikan yang baik bukanlah sekadar nilai akademis akan tetapi juga nilai moral. Selain itu, kesederhanaan, perjuangan, keberanian, kesabaran, tidak mudah putus asa, yang membuat anak bertahan hidup dengan lebih baik. Selain itu, Pesan moral yang disampikan pada novel ini bahwa manusia terlahir merdeka, manusialah yang memenjarakan diri manusia dalam berbagai keharusan yang disebut sistem yang sayangnya ternyata kerap menyusahkan orang yang sama sekali tidak mengerti apa itu sistem. “… saya tidak bangga cucu saya cerdas di kepala tapi tidak di dalam hati” adalah kutipan penggalan-penggalan kalimat yang menyangkut tujuan pendidikan itu sendiri. Ternyata pendidikan sebenarnya bukan tentang selembar kertas yang dikenal dengan nama ijazah, melainkan untuk menjadikan setiap manusia itu sendiri memiliki moral yang baik.

                                                                                                     
           

             


Tabel Data dan Kutipan dalam Novel Serdadu Kumbang
Karya Rain Chudori Soerjoatmodjo

Data
Kutipan
1
“Rumah di Desa mantar di Sumbawa rata-rata rumah kayu yang mempunyai kolong yang di masa lalu biasa digunakan untuk menyimpan padi. Oleh ibu Siti, kolong itu digunakan untuk sebuah warung tempat berjualan berbagai makanan kecil dan es.” (hal. 18)
2
“Pada dahan inilah anak-anak Desa Mantar menggantungkan mimpi dan cita-citanya. Pohon cita-cita, demikianlah anak-anak menyebutnya. Mereka menuliskan cita-cita dan mimpinya diatas sehelai kertas, lalu mereka masukkan ke dalam botol.” (hal 5)
3
“Minun lebih sering mengabdikan dirinya kepada buku-buku.” (hal. 12)
“...Minun dan kawan-kawan sekelasnya di SMP Mantar tengah berkutat belajar untuk menghadapi ujian.” (hal. 47)
4
“ ...di bawah bayang-bayang dahan bersorak dan vertepuk tangan setiapkali sehelai kertas cita-cita dibacakan dengan lantang. “Imah, dosen!” seru Japar”. “Jubaidah... ingin punya Restoran Ayam Taliwang”. “Japar...  Guru Mengaji.” “Sikin, Bupati” (hal 6)
“..... Amek tak pernah peduli dengan keringat yang membasahi dahinya, dan dia juga melupakan sumbing bibirnya yang selalu dia anggap sebagai penghalang dirinya untuk meraih cita-citanya” (hal 14)
5
“Kedisiplinan dan hukuman itu, harus sejalan,” kata Kepala Sekolah Jabuk mencoba menengahi guru-gurunya yang terbelah menjadi dua pihak.” (hal 31)
6
“Mungkin keturunannya memang kurang ajar. Atau mungkin gurunya yang mengajar, mengajarkan kurangn ajar,” kata Haji Mesa dengan santai. Kalimat itu malah membuat Kepala Sekolah Jabuk semakin merunduk.” (hal 32)
“Haji Mesa memberikan petuah kepada Kepala Sekolah dan pak Openg, tentang pendidikan yang seharusnya bukan sekedar pendidikan ilmu tetapi juga akal budi. “Saya tidak bangga kalau cucu saya cerdas dikepala tapi tidak cerdas di hati.” (hal 32)
“Yang mana yang musyrik, Jek?” kata Haji Mesa mencoba menenangkanJek karena faham dengan kemarahan Jek yang salah alamat itu.” (hal 64)
7
“Tak heran jika murid-murid lebih suka diajardi bawah naungan Guru imbok yang mendidik dengan hati. ..... “Tetapi Guru Imbok tetap saja mengingatkan mereka betapa pentingnya pendidikan untuk masa depan.” (hal 7-8)
“Guru Imbok sangat terganggu dengan cara pak Alim yang, seperti biasa, menggunakan kekerasan dalam mendidik anak-anak.” (hal 30)
“hari semakin gelap, Amek dan kawan-kawan menanti Guru Imbok di sekolah darurat tempat beliau biasa mengajar.” (hal 70)
                                                              

Penerapan Teori Hegemoni pada Cerpen


BENTUK HEGEMONI CERPEN PEMBURU KARYA AGUS NOOR

            Cerpen Pemburu karya Agus Noor di analisis dengan menggunakan teori hegemoni. Teori hegemoni adalah suatu teori yang menunjukkan dominansi dari satu atau beberapa pihak terhadap pihak lain yang dilakukan dengan cara terus-menerus. Hegemoni merupakan suatu hal yang dengan mudah dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Hegemoni sebagai konsep untuk mendominasi, mengarahkan dan mengendalikan orang lain melalui ide dan gagasan mampu mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Pada hakekatnya hegemoni akan selalu punya taktik untuk terus-menerus memperoleh dukungan dan sebaliknya yang tertindas tidak selalu berani melakukan perlawanan.
Dalam cerpen ini tampak dominasi atau penindasan pemburu terhadap binatang-binatang, manusia, dan para kiai. Hal ini tampak pada kutipan-kutipan yang sebagaian besar mencerminkan bentuk dominasi-dominasi tertentu.
a)    Hegemoni pemburu terhadap binatang-binatang
            Dalam cerpen ini tampak hegemoni pemburu sebagai bangsa yang besar selama berabad-abad tak pernah gagal memburu binatang-binatang hingga menjelajah keseluruh hutan, hal ini tercermin dalam kutipan:
“Kami adalah bangsa pemburu yang besar. Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal memburu sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah membentuk kami sebagai pemburu paling ulung” (Halaman 1).

Selain kutipan diatas, bentuk hegemoni juga tercermin ketika pemburu merasa bahwa kekuasaan merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan kebanggaan dan kehormatan. “Kami mengembara dari satu benua ke benua lainnya, untuk memburu binatang-binatang, bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi hidup, tetapi lebih untuk kebanggaan dan kehormatan(Halaman 1).
Bentuk hegemoni semakin tercermin dengan jelas ketika pemburu perlahan-lahan telah menghabiskan dan membunuh seluruh binatang-binatang di dunia untuk mepertahankan kehormatan, seperti tercermin dalam kutipan “Tapi sudah lama kami kesulitan menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami katakan tadi, semua binatang telah habis kami buru, kami bunuh (Halaman 2).

b)   Hegemoni pemburu terhadap manusia
            Bentuk hegemoni lain juga tercermin ketika pemburu sebagai bangsa yang besar atau sebuah negara yang berkuasa melakukan kekerasan bahkan memburu budak-budak untuk mempertahankan kekuasaan dan kekuatan. Tercermin dalam kuitpan berikut.
“Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri. Mereka kami lepas ke tengah hutan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian kami memburu mereka. Itu menjadikan kami begitu bahagia” (Halaman 2).

            Hegemoni tersebut tidak hanya dilakukan oleh pemburu sebagai bangsa yang besar tetapi juga banyak orang diluar suku, dan dari banyak negara yang mengikuti cara kekerasaan, seperti yang dilakukan para jendral, orang-orang besar dinegara lain, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar yang mengandalkan kekuatan untuk melakukan penindasan.
“Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-kisah kami menjalar ke banyak negara, banyak orang diluar suku kami, mendatangi kami, untuk ikut menikmati perburuan itu. Mula-mula, banyak diantara kami yang menolak, karena hal itu dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa menolak, ketika dari banyak yang datang ke pada kami itu adalah para jendral, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar” (Halaman 3).

            Pemburu merampas, menguasai, dan menjarah para buruannya yakni rakyat, para penjahat yang telah divonis mati, para tokoh oposisi yang tak mereka sukai, para demonstran, dan kaum intelektual.
            Tak hanya itu, kaum perempuan, anak-anak Palestina, ribuan orang yahudi, hingga ke banyak negara melalukan tidakan kekerasaan untuk mempertahankan kemenangan.
“Ketika kami menjarah perempuan dan membunuhi anak-anak, ketika kami memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp konsentrasi, ketika kami menembaki anak-anak Palestina, ketika kami memburu dan membantai orang-orang muslim di Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak negara untuk meluluhlantakkan apa saja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan” (Halaman 4).
                                                                 
c)    Hegemoni pemburu terhadap para kiai
            Tidak hanya memburu binatang, manusia yang telah habis dan dikuasai dibumi, pemburu juga memburu kiai. Mereka memanfaatkan jutaan kiai untuk mendatangkan jibril. Perburuan terhadap jibril merupakan pengalaman abadi sesungguhnya yang membangkitkan jiwa perburuan yang sejati dengan melakukan dominasi terhadap kiai. Mereka menggiring kiai ke sebuah masjid kecil di pinggir hutan dan membakar masjid masjid tersebut untuk mempertahankan kekuasaan.
Jangan salahkan kami. Dan kami segera menyerbu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemarahan kami menyalakan api di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada masjid itu. Kami bakar masjid itu, hingga kayu-kayu bergemeretakan, dan api melahap cepat, membumbung” (Halaman 7).

Analisis Hermeneutika pada Cepen Malaikat Juga Tahu


“Malaikat Juga Tahu” Sebuah Persepsi Hermeneutika

Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermenenuein, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Secara mitologis, hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan pesan Illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, didalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan.
Dalam karya sastra, hermeneutik dipakai untuk menginterpretasi sebuah teks supaya dapat dipahami, Gadamer mengatakan bahwa untuk memahami karya sastra diperlukan tiga tahapan, yaitu kemengertian, interpretasi, dan aplikasi. Pada karya sastra, interpretasi diperlukan dalam  penafsirkan makna dan pemahaman terhadap teks.
Malikat juga tahu menginterpretasikan pada seorang ibu yang memiliki dua orang anak, ibu tersebut bernama Bunda. Anak yang pertama dipanggil dengan nama Abang. Dia mengalami autisme dan jatuh cinta pada seorang gadis. Namun sang gadis jatuh cinta pada Si Adik, anak kedua Bunda. Kasih sayang dan kesabaran seorang bunda adalah fokus sentral pada interprestasi cerpen. Seperti yang terdapat pada kutipan berikut.
“Perempuan muda itu benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.
Tidak perlu ada kompetisi di sini. Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya”.  
“Malaikat juga tahu, siapa yang jadi juaranya” adalah cinta sang bunda tersebut terhadap Abang. Interpretasi pada makna malaikat juga tahu ternyata lebih dalam dan berbeda dengan cinta yang terlihat dari Abang kepada si gadis. Si Abang yang autis jatuh cinta pada si gadis, tetapi si gadis lebih mencintai si adik yang normal. Akibatnya Abang sangat menderita karena si gadis memilih si adik. Akhirnya, Abang terjebak dalam cinta tanpa pilihan karena orang autis tidak bisa memilih cinta yang lain. Sehingga kesabaran seorang bunda dipertaruhkan demi kasih sayangnya terhadap sang Abang. Pada akhirnya cinta sang bundalah yang menjadi juaranya. Malaikat itu ternyata sesungguhnya tak berhati, tidak bisa memilih mana yang benar-benar memiliki cinta sejati. Dia tahu sebenarnya cinta yang sejati itu yang mana. Hanya manusia sendiri yang mesti memperjuangkan cinta itu dan akhirnya mengetahui siapa yang akan jadi juaranya.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa interpretasi pada malaikat juga tahu sebenarnya adalah kesabaran bunda terhadap anaknya yang menderita autis dan cinta seorang bunda terhadap anak yang tidak bisa memiliki cinta dari seorang gadis. Sehingga yang menjadi juara disini adalah sang bunda yang selalu memberikan kasih sayang dan kesabaran yang luar biasa terhadap Abang.

Mekanisme Pertahanan Ego Pada Cerpen Sematku Patah di Cungking


Mekanisme Pertahanan Ego Tokoh “Aku”
Cerpen Sematku Patah di Cungking

Psikologi sastra adalah ilmu sastra yang mendekati karya sastra dari sudut psikologi (Hartoko melalui Endraswara, 2008:70). Dasar konsep dari psikologi sastra adalah munculnya jalan buntu dalam memahami sebuah karya sastra, sedangkan pemahaman dari sisi lain dianggap belum bisa mewadahi tuntutan psikis, oleh karena itu muncullah psikologi sastra, yang berfungsi sebagai jembatan dalam interpretasi. Sigmund Freud dianggap sebagai pencetus psikologi sastra, ia menciptakan teori psikoanalisis yang membuka wacana penelitian psikologi sastra. Pendekatan psikoanalisis sangat substil dalam hal menemukan berbagai hubungan antar penanda tekstual (Endraswara, 2008: 199).
Ego adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan pribadi untuk berhubungan dengan dunia nyata (Freud, melalui Suryabrata,1993:147). Seperti orang yang lapar harus berusaha mencari makanan untuk menghilangkan tegangan (rasa lapar) dalam dirinya. Hal ini berarti seseorang harus dapat membedakan antara khayalan tentang makanan dan kenyataannya. Hal inilah yang membedakan antara id dan ego. Dikatakan aspek psikologis karena dalam memainkan peranannya ini, ego melibatkan fungsi psikologis yang tinggi, yaitu fungsi konektif atau intelektual (Freud, dalam Koswara, 1991:33-34). Mekanisme pertahanan merupakan cara yang digunakan individu dalam mencegah kemunculan terbuka dari dorongan–dorongan id maupun untuk menghadapi tekanan superego atas ego, dengan tujuan agar kecemasan dari ketegangan bisa dikurangi atau diredakan.
Kisah hidup tokoh aku yang sangat cinta pada gadis masa lalunya dan berharap gadis tersebut mau menerima cinta terpendamnya. Cinta tokoh aku terlalu dalam, meski egonya menekankan bahwasanya gadisnya itu telah menjadi janda beberapa kalipun, ia tetap merindukanya. Seperti yang terdapat dalam kutipan cerpen berikut: “Tapi jujur dalam hati kecilku aku tetap merindukannya, aku berharap ia kembali, aku terima ia sejanda apa pun” (Paragraf 6). Tokoh aku begitu menginginkan si gadis kembali padanya walaupun si gadis telah menjanda, sehingga ia merasa perlu datang ke Cungking dan kembali menemukan dambaan hatinya dengan harapan ia bisa kembali menemukan pelampiasan perasaan rindu sertanya cintanya,  
Secara ego, si tokoh aku tidak mampu mengungkapkan perasaannya pada si gadis, mengingat ia tidak mempunyai keberanian untuk mendekati dan menyatakan cinta gombalnya pada si gadis karena takut tergunjing. Seperti terdapat dalam kutipan berikut: “Aku tak ingin jadi bulan-bulanan kawan sebaya yang mengumumkan hubungan saya dengan gadisku dengan menuliskannya disembarang tembok entah pakai arang atau daun jati. Tulisan itu kerap membuat hubungan remaja yang sedang memadu kasih kandas di tengah jalan lantaran malu diketahui banyak orang” (Paragraf 12). Jelas ini bertolak belakang dengan perasaan meluap tentang cintanya pada si gadis di Cungking. Rela kembali dari rantau yang jauh dan hanya berharap bisa kembali melihat gadisnya adalah suatu tekad serta rindu yang kuat dari tokoh aku yang masih saja mendambakan cinta si gadis di Cungking.
 Dalam kutipan berikut juga mencerminkan ego dari  tokoh aku yang merasa bahwa ia menyesal tidak pernah mengungkapkan cintanya, seperti tercermin dalam kutipan “Seharusnya aku yang menjadi bapak anak-anaknya, kalau saja aku mau membuang gengsiku. Penyesalan itu yang selalu mengusik hatiku. Entah berapa ratus kali aku menggumam seperti itu walaupun kini sudah ada Margareta dan Aleece, hasil kumpul keboku bersama Manuela” (Paragraf 7). Tokoh aku seringkali memiliki perasaan galau dan kerap menyalahkan diri sendiri. Namun perasaan penyesalan membuat hatinya menjadi penasaran terhadap gadisnya meskipun ia sudah memiliki dua orang anak dari hasil kumpul kebonya dengan Manuela.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ego dari tokoh aku sangat kuat dalam memendam perasaan cinta pada gadis masa lalunya sehingga cinta itu hanya bersemi dalam rasa rindu dan berharap ingin memilikinya, tetapi perasaan tersebut berat untuk diungkapkan. Karena egonya tersebut, si gadis tidak menikahi tokoh aku dan memilih menikah dengan juragan gabah, sehingga tokoh aku tidak mengetahui bahwa si gadis sebenarnya juga mencintainya. Ketika mengetahui hal tersebut, timbullah penyesalan dalam diri tokoh aku akibat dari egonya sendiri.

Analisis Cerpen dengan Pendekatan Mimesis

APRESIASI CERPEN JANGAN MAIN - MAIN (DENGAN KELAMINMU) DENGAN PENDEKATAN MIMESIS

Cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar Maesa Ayu merupakan cerpen yang berani mengungkapkan masalah kehidupan yang diselimuti oleh perselingkuhan. Bentuk-bentuk bahasa yang khas terlihat dalam pengungkapan dialog, monolog dan narasi yang menggunakan kata-kata, istilah, dan ungkapan. Pendekatan yang digunakan dalam cerpen ini adalah pendekatan mimesis yang merefleksikan karya sastra sebagai cerminan masyarakat pada saat karya tersebut di tulis. Teori mimesis berpandangan bahwa sastra sebagai cerminan masyarakat, artinya berbagai fenomena yang ada didalam karya sastra merupakan tiruan atau refleksi dari apa yang telah ada di dalam masyarakat.
Dalam Cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar mengungkapkan tentang perilaku perselingkuhan karena adanya pengaruh dan respon seorang suami terhadap situasi yang berkaitan dengan pengalaman, motivasi, emosi, dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Seperti yang terdapat dalam kutipan cerpen berikut: “Tapi jika dikatakan hubungan kami main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak. Saya sangat tahu aturan main. Bagi pria semapan saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin” (paragraf 2).

Dalam kutipan tersebut mengungkapkan bahwa seorang suami mencari kesenangan dengan melakukan perselingkuhan dengan wanita simpanan. Secara nyata kasus tersebut juga pernah terjadi di kehidupan, misalnya saja salah seorang anggota DPR RI yang pernah menghebohkan media masa karena terbukti berselingkuh dengan seorang penyanyi dangdut bernama Maria Eva yang juga merupakan rekan seprofesinya di partai politik. Dia seorang pria mapan yang melakukan perselingkuhan dengan wanita simpanannya karena pengaruh motivasi untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang tidak didapat dari seorang istri. Walaupun wanita simpanan tersebut tahu bahwa laki-laki mapan tersebut hanya menjadikannya sebagai wanita simpanan tetapi ia tetap melakukan perselingkuhan.
Cerpen ini juga mengekspresikan tentang seorang suami yang mencari kesenangan yang dilatarbelakangi ketidakpuasan dalam hubungan suami istri karena dipicu oleh perubahan bentuk fisik dari seorang istri. Seperti yang terungkap dalam kutipan cerpen berikut.
“Awalnya memang urusan kelamin. Pada suatu hari, ia terbangun dan terperanjat di sisi senggok daging, sebongkol lemak, gulungan kerut-merut hingga suara kaleng rombeng. Saya sudah terbiasa mendengar keluhan suami-suami tentang istri-istri mereka. Saya juga tahu, mereka senang, sayang sampai cinta pada saya, awal mulanya pasti urusan fisik, urusan mata, urusan syahwat” (Paragraf 5).

Dalam kutipan tersebut selain kasus diatas, secara nyata juga terjadi dalam kehidupan kalangan selebriti, misalnya saja Raul Lemos yang berselingkuh dengan Krisdayanti seorang artis dengan fisik yang cantik. Dia melakukan perselingkuhan yang awalnya hanya dipicu karena seorang suami yang merasa bahwa istrinya tidak secantik seorang artis. Namun, tidak hanya urusan fisik yang melatarbelakangi perselingkuhan tetapi juga karena adanya dorongan motivasi terhadap suatu kebutuhan tertentu akan cinta.
Beberapa kutipan diatas menunjukkan bahwa Cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) menyoroti masalah perselingkuhan, dan pengaruh seorang suami berselingkuh terhadap situasi yang berkaitan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Cerpen tersebut juga menggambarkan konflik-konflik seksualitas pada tokoh-tokohnya menggunakan pengungkapan dialog, monolog dan narasi dengan gaya dan bahasa yang khas.

Analisis Hermeneutik Pada Cerpen Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata - Kata


Analisis Hermeneutik Pada Ungkapan Selamat Ulang Tahun
Cerpen Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata - Kata

            Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermenenuein, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Secara mitologis, hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan pesan Illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, didalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan.
            Dalam karya sastra, hermeneutik dipakai untuk menginterpretasi sebuah teks supaya dapat dipahami, Gadmer mengatakan bahwa untuk memahami karya sastra diperlukan tiga tahapan, yaitu kemengertian, interpretasi, dan aplikasi. Dalam proses aplikasi, seorang pembaca dapat memahami teks karya sastra jika cakrawala kesejarahan teks melebur dengan cakrawala pembaca.
            Putu Wijaya mengemas cerpen tersebut melalui percakapan antara si pembeli bunga dan penjual bunga. Cerpen ini menggambarkan tentang seorang bapak yang sedang mencari bunga untuk hadiah ulang tahun. Sudah sekian lama dia mencari bunga yang berkenan tetapi belum juga diperoleh. Baru didapat, menjelang dia meninggalkan tempat pencarian, setelah seorang gadis pemilik bunga menunjukkan bunga yang dirangkainya sendiri, tetapi tidak mau dia jual. Bapak tersebut hendak mempersembahkan bunga hadiah ulang tahun itu untuk dirinya sendiri.
            Bukanlah sesuatu yang sukar sebenarnya mengucapkan selamat ulang tahun. Ungkapan selamat dapat membuat si pemberi dan penerima salam akan berbahagia. Pemberian selamat sebenarnya tidak menganggu kita sama sekali, tapi jika masih ada rasa tak rela atau tak tulus dalam pemberian ucapan selamat itu tidak akan bermakna. Seperti yang terungkap dalam kutipan berikut.
            ”Mestinya mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”
”Mereka siapa?”       
”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”
”Mereka terlalu sibuk.”
”Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!” (halaman 5).

            Dalam memperingati ulang tahun, seharusnya yang pantas memberi ucapan selamat adalah orang lain. Karena secara hakikat, ungkapan selamat diberikan orang lain kepada seseorang yang memperingati ulang tahun. Sementara, pada sisi yang lain, ungkapan selamat pada kata ulang tahun yang menjadi selamat sebenarnya adalah waktu yang tak berhenti ketika seseorang sedang memperingati ulang tahun. Orang lain, atau siapapun yang diperingati ulang tahunnya, pada hakikatnya, semakin  berjalan waktu semakin dekat pada penambahan usia seiring dengan berjalanya waktu. Meskipun demikian untuk menciptakan suasana kebersamaan dan persahabatan serta saling menghormati, ucapan selamat sangat penting dan berarti bagi seseorang yang menerima ucapan selamat.